Wednesday, October 27, 2010
Rongga
Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit dimana langit mengeluarkan warna terbaiknya, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan tapi hampir nyaris tidak ada satupun desah keluar .Mencekam. Suara membisu bersama desir angin yang berbisik di celah-celah hutan bambu dengan intonasi sangat lirih, begitu memelas. Batu-batu jalanan desa bahkan seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai datang dan kesedihan-kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan yang berwarna oranye. Begitu pekat. Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Layaknya aturan dari Tuhan , di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Apalagi didiskusikan. Seperti pemerintah tiran, ketika kesedihan dibicarakan maka tanpa ampun lagi kerongkongan para penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya. Beberapa orang dengan rongga di kerongkongannya segera menutupi lehernya dengan berbagai cara, ada yang memakai kalung dengan batu mulia sebesar lubang itu, ada yang kemudian memakai kain , ataupun memesan pakaian khusus agar leher mereka tertutup rapat. Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak, rongga di leher itu begitu mudahnya infeksi dan kesakitan akan semakin menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tidak ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu dimana kesedihan itu berada. Sepanjang pagi dan siang akan tampak hanya muka-muka bahagia, tawa-tawa yang menggelegar, basa-basi yang begitu meruah. Bahkan orang-orang yang berongga di lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia , begitulah jargon yang berlaku . Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang harus dihindari jauh-jauh kalau perlu harus dimusnahkan. Haram hukumnya buat orang yang menerima kesedihan , apalagi menangisinya dan berbagi. Sejak lahir, para bayi tahu bahwa jargon itu seperti dogma agama yang terus menerus didengungkan kepada roh-roh suci itu. Harus ditaati dan tidak boleh dibantah apalagi dilawan. Para ibu secara otomatis membuai anak-anaknya dengan senandung anti kesedihan. Ketika anak-anak membesar dan bertanya tentang kata sedih, buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa penguasa kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut anak-anak yang begitu indah bola matanya itu.
”Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang airmata demi dunia yang gembira, jauhi dunia gelapmu , hanya tawa yang berhak di hati kita” demikian kira-kira senandung itu.Sambil menikmati kehangatan dada ibunya yang ranum, para bayipun dengan sendirinya menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia.
Ketika pemilihan kepala desapun, para kandidat berlomba-lomba menawarkan program paling efektif bagaimana melawan kesedihan . Seperti supermarket dengan diskon besar-besaran menjelang hari raya, program yang paling menarik akan diserbu habis-habisan . Bahkan para mahasiswa yang melakukan kuliah kerja di desa itu diwajibkan hanya mengajar program kebahagiaan dan sebuah kontrak bermeterai harus mereka tanda tangani dengan sangsi sangat berat bagi mereka yang melanggarnya. Tiran emosi! Begitu umpatan para mahasiswa . Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi peraturan desa itu tanpa kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia bahkan begitu gencar menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan yang amat besar. Airmata harus ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar menerbangkan keluarganya entah kemana , Kemplu tertawa gembira, diadakannya pesta besar dan dijamunya hampir seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia kawin lagi dan beranak pinak. Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah. Begitulah kira-kira cemoohnya.
” Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang di umbar itu hanya milik orang-orang yang tidak bermartabat. Airmata hanya sebuah kebodohan”
Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong. Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti airmata yang hampir jatuh, kesedihan seperti menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa itu, kepanikan selalu melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada mereka dengan tali yang begitu erat, mulut mereka segera ditutup dengan plester yang sangat kuat. Mereka mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak agar leher mereka tidak berongga dan kesakitan tidak akan lagi menjadi teman mereka sepanjang nafas yang tersisa. Mereka diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat dengan kesedihan tidak harus jebol dari mulut dan mata mereka. Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada tempatnya. Di ujung paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak pernah bisa menemukannya untuk merobeknya dan dicatat dalam catatan sucinya. Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan karena kerongkongan berongga lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang paling tajam sekalipun. Di setiap semburat jingga mulai bertiup di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Semua rapat menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah mereka. Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja. Istrinya hanya tau dia pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan Gembira oleh penduduknya meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok dengan udara yang dihembuskannya setiap pagi. Udara yang pekat dengan kesedihan. Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu , gesekan daun-daunya menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan pohon-pohon itu bergaung bersaut-sautan dengan irama yang paling lantang. Senandung kesedihan yang sangat menghebat luar biasa. Ketika orang menyentuh papan nama ”Hutan Gembira”, mereka seperti meremas menembus jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di dalamnya untuk dimuntahkan. Persis ”ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di film laga . Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum pernah ada yang bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari hutan dengan wajah penuh tawa dan keceriaan luar biasa selalu menjawab bahwa kesedihan hutan itu sudah ada bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon pertama kalinya di sana. Semesta menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi satu-satunya kenapa kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini. ” Adam manusia pertama, jadi dia punya hak khusus dan hanya satu-satunya yang boleh merasakan rasa sedih itu. Kalian tahu rasa itu begitu memekat di hati maka anak cucunya harus membasminya” Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu setitikpun.
Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa satu-satunya jalan agar tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah membuat taman keriaan yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan Gembira. Semua setuju, juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya. Mereka sangat berharap dengan adanya taman keriaan itu rasa sakit yang bernanah di kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu yang protes. ”Kita perlu oksigen segar dan itu merusak lingkungan” begitu dalihnya menirukan para aktifis linkungan di televisi dengan teriakan paling lantang. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap keras kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira . Dalam hitungan jam sebanyak beberapa jari tangan saja, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa. Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat senja, padahal terik matahari seperti meretakan kepala mereka. Seperti saat sakaratul maut tersenyum dengan manisnya dan siap mencabut semua jejak nafas yang tersisa di dunia ini. Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang tersisa. Ketika mulut buldoser hanya menyisakan satu senti saja dari ujung pohon itu tiba-tiba suara Kemplu keluar dengan histeria yang hanya dimiliki oleh orang dengan kesedihan yang begitu pekat dan kental.
”Jangan ...!” suara yang bercampur isak yang sudah bertahun membatu. Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua warga jantungnya berhenti berdetak. Kemplu lelaki paling kuat dan paling jagoan di desa itu melantangkan kesedihan yang begitu hebat. Isak tangis yang meruah tanpa bisa dihentikan oleh buaian perempuan berpayudara sorga sekalipun.
”Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka tidak hilang bersama badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap senja. Aku berikan percakapan bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus telingaku.. Aku mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki . Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu sembunyi di rongga itu, kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku. Maafkan , kesedihan ini tidak tertahankan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong , jangan ambil pohonku, hanya itu satu-satunya yang mau mendengarkanku.. .Aku akan mati tanpa rongga itu......” suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di kerongkongannya tiba-tiba menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga itu tidak berhenti sebatas kerongkongan, rongga itu makin membesar, dan membesar hingga akhirnya tubuh Kemplu meledak dan serpihan tubuhnya berhamburan, membeku seperti batu. Hanya jantungnya yang tetap berdetak. Istri barunya pingsan, anak-anaknya meleleh. Hening pekat. Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap. Sambil setengah meyakinkan dirinya bahwa adegan itu mungkin sebuah rekayasa ilusi dari Kemplu, kepala desa memungut jantung berdetak itu. Berhati-hati dimasukannya j ke dalam rongga pohon terakhir itu. Begitu dimasukkan, pohon itu hidup seperti di ruang keluarga bahagia di iklan TV. Suara gelak tawa yang menggelegar, dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua warga yang mendengar suara dari rongga pohon itu tahu bahwa Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya.
Sejak itu, ada yang sangat berubah. Setiap senja, desa itu begitu riuh dengan tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka lebar-lebar, meski angin mungkin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi para penduduk desa itu tahu bahwa hati mereka akan sangat luar biasa menahannya. Mereka tahu bahwa setiap senja jatuh, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita rasa yang memekat. Kesedihan yang sangat bersahabat. Ketika mereka mengenal begitu baiknya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air Mata. Siapapun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya . Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan ingin merasakan bagaimana indahnya kesedihan di taman itu bisa membeli obat perangsang kesedihan yang biasanya ditawarkan petugas penyobek tiket tanda masuk. Tak lupa setiap pengunjung taman sebelum pulang pasti akan selalu menyempatkan berfoto di pohon Kemplu, demikian mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak di tebang itu. Pohon yang luar biasa merindang
...
Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.
...
Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat...
Ubud, 15-Juni-2010
Untuk lelaki-lelaki kecil hebatku, Banyu Bening dan Langit Jingga
Sunday, March 28, 2010
Lelaki yang Membelah Bulan

Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam matanya. Aku tidak tahu apakah dia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.
“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.
”Negeri bulan itu indah sekali, Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.”
Laki-laki itu pasti pengkhayal. Negeri bulan pasti tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu mendapat jawabannya.
Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki itu tetap tersenyum. Tangannya bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja yang tak putus untuk semesta. Dia tetap diam sambil sesekali sinar dalam tubuhnya berkejap seiring suara detak. Aku percaya sinar itu adalah sinar jadi-jadian.
Dia duduk tepat di sampingku. Kedai itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para penabuh gong bertebaran di mana-mana. Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai itu. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Lelaki itu terus memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya.
”Kamu ngapain malam-malam di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?” dia bicara kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular dengan gumam yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku liat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.
”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.”
Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak. Tangannya dengan lembut mulai membelai belakang tubuhku.
Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh tubuhnya. Seperti masuk dalam kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Cahaya itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu tak asing bagiku…. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir.
Ah, laki-laki ini tidak seajaib yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya. Anehnya aku selalu merasa jatuh sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan seringai yang menyilaukan.
Aku pun sering kali berpura-pura takut dengan seringai itu, padahal aku selalu sangat ingin memeluk anak kijang jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski demikian anehnya, aku selalu punya keinginan anak kijang jadi-jadian itu menjadi raksasa-raksasa sungguhan, meskipun aku tahu setelah mereka menjadi raksasa, mereka akan melumatku hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya melemparkan tubuhku yang setengah hidup itu ke tepi jalan. Tubuhku yang terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar mati, tubuhku akan dengan sendirinya bersatu kembali.
”Mengapa kamu datang ke kedai ini? Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi menjadi penabur birahi yang baik buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat. Berkali-kali anak-anak kijang yang menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya dan memuntahkannya begitu saja.”
Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Satu per satu para lelaki di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang.
Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam. Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.
”Aku menyukai matamu.”
Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para lelaki yang menuai taburan birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati mungkin sebuah kebohongan lagi.
”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang. Awas kamu jangan jatuh cinta dan jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,” seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penari-penari malam sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku amat sangat berbohong dengannya.
Aku benar-benar ingin dia selalu merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai penari malam, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para lelaki pemuja malam. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.
”Kamu benar-benar tidak ingin tahu tentang negeri tempat aku datang?”
Mata itu mulai merajuk. Tangannya terus membelai punggungku dan tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh.
”Mengapa kamu begitu ingin aku bertanya tentang negerimu?”
”Karena aku ingin kamu datang secepatnya ke sana.”
”Sekarang?”
”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.”
Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya.
Lelaki itu terus menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu. Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar seperti Ikarus yang malang.
”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu terbahak hingga hampir saja dia terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai rambutku. Jari-jariku pun kembali dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu kembali menatapku dengan sihir yang tetap memukauku.
”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.”
Jawaban lelaki itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku. Lelaki-lelaki yang selalu mengisi malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi yang memekakkan. Bibir lelaki itu masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium dengan jelas detak jantungnya lewat hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan kuberanikan diri membelai rambutnya dengan tanganku yang terus terang sedikit gemetar.
”Mengapa kamu datang?”
Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang akan pasti menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasku sedang setia menunggu giliran untuk menempatinya. Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela menjadi bodoh. Sungguh benar-benar bodoh.
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”
Aku benar-benar membencinya ketika lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah kata-kata itu sudah pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku tetap menyukai kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata. Meskipun aku sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu kata-kata.
”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah, Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi salah satu penari malam ketika aku membelai rambutnya dengan rasa heran yang luar biasa ketika aku sadar aku tidak sedang menabur birahi pada kejapan mataku. Aku sering terjebak dengan waktu yang meluka. Waktu-waktu yang salah ketika aku memilih menjadi kekasihnya.
”Mungkin iya mungkin tidak. Aku dikutuk karena aku mencoba membelah bulan. Aku ingin tahu apa warna hitam di balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun marah. Tanah di sana kemudian merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada di tubuhku, sedangkan separuh lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari separuh cahaya untuk mengisi ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga tubuhku menjadi utuh.”
Sialan, aku berharap jadi separuh cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku bahagia. Aku senang. Aku meniup buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu pecah. Aku terbang. Aku ada di ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu waktuku pecah. Aku begitu lemah. Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku mencinta.
”Ha-ha-ha-ha-ha-ha… kamu itu aneh. Kamu mencari separuh cahayamu yang hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap seperti ini, dan kamu pun salah orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak punya cahaya yang kamu cari.”
Aku benar-benar marah dengan kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia tahu aku ingin jadi separuh cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani lelaki-lelaki malam sudah amat membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi menjadi Engtay yang menunggu Sampek dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi memang memuakkan. Mitos yang menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya. Aku menyebut umat itu adalah kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta harus menyukai semua warna, termasuk hitam dan malam.
”Aku benar-benar perlu separuh gelap dalam tubuhku ini terisi cahaya.” Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata yang tidak pernah tumpah. Air mata yang membuat bulan itu terbelah ketika dia mengejapkan matanya dan menjadi serakah dengan cahaya.
”Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula. Pergilah Sayangku. Aku tidak akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku.”
Aku mengantarkannya pada ujung pintu, punggungnya dengan separuh cahaya yang berpendar masih tetap memancarkan bau yang sama persis dengan ketika aku berjumpa dengannya di sebuah episode di ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu aku mungkin separuh cahaya yang dia cari itu, tapi aku pikir berbohong padanya tentang hal itu adalah hal yang terbaik untuk hidupnya. Lelaki itu terus berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah.
Ah, kubutuhkan tanah lapang yang begitu luas saat ini di dadaku. Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam. Sayangku.”
Ubud, 26 Januari 2010
Friday, January 29, 2010
Surat pendek untuk Banyu dan Langit
Matahari-matahariku,
Aku tahu, aku bukan ibu yang baik untuk kalian. aku bukan ibu yang nampak manis dan bijak dalam iklan2 di televisi. aku tidak bisa menjahit baju untuk kalian, memasak makanan bahkan untuk sekedar menemani kalian tidur ataupun membacakan buku cerita untuk kalian. sungguh anakku, aku bukan ibu seperti Masyitoh dalam cerita Sulaiman atau ibu yang bertelapak kaki surga. AKu hanya perempuan yang kebetulan melahirkan kalian dari rahimku yang selalu penuh dengan belatung-belatung pertanyaan kegelisahanku sendiri.Tetapi Matahari-matahariku aku ingin menulis sedikit saja untuk kalian.Pada suatu hari nanti, jika aku sudah tidak bisa selalu memeluk kalian, debu tubuhku sudah menyatu bersama bintang-bintang ( hey ingat kalian tidak boleh menangis dan jangan pernah menguburku jika aku mati, bakar tubuhku dan lemparkan abunya ke udara sehingga jika kalian rindu aku, kalian cukup melambai pada bintang ) aku hanya ingin kalian selalu ingat satu hal, selalu jaga ALAM PIKIRAN kalian.
Karena Alam Pikiran kita adalah alat yang sangat luarbiasa, didalamnya kita menciptakan, menentukan, melahirkan bahkan membunuh seluruh konsep, hukum, kaidah dan pengetahuan yang kita miliki tanpa memperdulikan tatanan nilai-nilai yang ada.. Didalam alam pikiran kita terdapat kesadaran yg esensial dalam hal mempertahankan eksistensi pribadi kita sebagai manusia yang bersifat sangat egois, Kesadaran inilah yang sering kita gunakan untuk membentengi diri kita dari dunia luar.. Alam pikiran kita mampu membenarkan apa yang salah atau menyalahkan apa yang benar, atau menakar apa yang kita butuhkan sesuai dengan wawasan dan pengetahuan kita. Tidaklah menjadi masalah apakah takaran kita sesuai dengan standard yang ada atau tidak.. semua dapat kita ubah suai sesuai selera kita, sesuai dengan apa yang kita butuhkan untuk mengembangkan diri kita. Terlepas dari itu semua, Alam pikiran kita adalah karunia yang sangat tidak ternilai, tanpa pikiran.. kita tidak akan pernah menjadi diri kita sekarang ini, pribadi yang sangat unik dan tersendiri. Dunia menilai kita sesuai dengan nilai nilai dan norma yang kita miliki didalam alam pikiran kita, dan pengakuan ideal yang tertinggi yang bisa kita raih dari dunia adalah TIADA nya kepemilikan kepentingan kita terhadap alam pikiran sesama lain, HILANGNYA kepentingan itulah yang akan menjadikan diri kita terbebas utuh dari perselisihan nilai-nilai baik dan buruk yang sangat bersifat perseorangan. Pada saat kita tidak berkepentingan, justru alam pikiran kita memberikan sisi yang terbaik terhadap dunia, menghormati dan memberikan kebebasan bagi alam pikiran lain untuk berkembang tanpa membatasi atau menghambatnya.. justru membiarkan mereka berkembang seiring sejalan bersama alam pikiran kita secara harmonis dan bahu membahu. Kita harus mampu belajar untuk menghormati alam pikiran orang lain untuk mendapatkan kehormatan yang sama, kita harus belajar menerima dan mengerti alam pikiran yang berbeda untuk bisa mengerti persamaan.. Alam pikiran kita adalah alat yang terindah, gunakanlah secara bijaksana dan kita lambat laun akan mendapatkan pencerahan yang akan membuka diri kita ke tingkatan yang lebih tinggi dalam tatanan nilai kehidupan.
Matahari-matahariku,
aku tahu sekarang ini kalian mungkin tidak memahami tulisanku ini, tapi ada satu hal yang mungkin kalian tidak pernah tahu.aku, ibumu. Mencintaimu dengan seluruh hidupku dan matiku.Kalian adalah matahari-matahariku, udara tempat bernafasku. Dari kalianlah seluruh kekuatan hidup dan bertahan aku dapatkan. Dari kalian juga, aku belajar bahwa dunia boleh menghancurkanku tetapi aku tidak akan mati dengan semua keputusasaan. Kalian alasanku ada di dunia ini.
Cium paling sayang dari perempuan dengan otak separuh rusak dan bertatto kupu2 di tangannya.
Ibumu
ps: jika kalian nanti ingin memelukku , cukup pegang nadimu. itu aku. karena aku tak pernah jauh dari detakmu.
Subscribe to:
Comments (Atom)

