Monday, February 20, 2012

Pemanggil Bidadari


"Kenangan itu seperti kotak-kotak kardus yang berserak. Seperti saat ini ketika kumasuki desa tempat Simbah Ibu tinggal"

Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan sunyi.
Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberiku keberanian memberi makna kesetiaan utuh pada Semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberiku nama Ratri.
”Mbah, mengapa namaku Ratri?”
”Karena kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong.”
Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang. ”Mari Nduk, kita berburu Bidadari”. Entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan diajarkannya ritual ”memanggil Bidadari” itu padaku.
Pada awalnya tangan kami terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin bergerisik di antara daun-daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti bisikan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Entah kekuatan dari mana tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami berdegup tak kuasa untuk menolak musik yang begitu saja menyeruak dari dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya.
”Mengapa kita memanggil Bidadari?”
”Karena jika Bidadari-Bidadari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.”
Benar saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi musik dari hati kami serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu.
”Mungkin salah satu Bidadari itu ibumu, Nduk. ”
Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang sebenderangnya dalam hatiku. Terang yang mampu melahirkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan Simbah Ibu itu meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah di mana. Mungkin itu sebabnya perempuan tua itu kupanggil Simbah Ibu, Karena hanya dia perempuan yang bisa kupanggil ibu.
Ketika mantra selesai, Simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya- cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk. Setiap rumah yang dimasuki cahaya itu selalu memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun di mataku adalah waktu di mana lukisan terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan cinta.
Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa Simbah Ibu selalu mengajakku bersujud mencium bumi sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah dari mana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu dihadiahkan para Bidadari untuk memberi senyuman pada wajahku karena konon pada roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang menari di antara malam dengan pekat yang hebat…
Setiap pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil Bidadari-Bidadari itu karena Simbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap di dalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka nanti lahir maka dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya.
Setiap malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tulus tak terhingga kepada kami, Pemanggil Bidadari, begitu mereka menyebut kami. Betul, ilmu memanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangku. Hanya keluargaku yang memiliki ilmu itu.
Hingga satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, Simbah Ibu pergi menemui Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi Simbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah kujalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupa kerinduanku pada Simbah Ibu dari pada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak Simbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya setiap pagi orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal karena mereka memilih itu dari pada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pekat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu.
Bertahun-tahun kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang Simbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apa pun. Meskipun kata orang-orang kecantikanku mampu membuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada lagi ada dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bisa dieja oleh huruf paling purba sekalipun. Aku pilih pekerjaan yang membuatku selalu harus berjalan ke segala pelosok dunia untuk melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu kunang-kunang yang keluar dari bumi. Aku rindu ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu Hidup. Pada tahun ke 9 tepat setelah kematian Simbah Ibu aku putuskan kembali ke desaku.
***
Rumah Simbah Ibu tetap sama dengan waktu aku tinggalkan dulu. Wasino tukang kebun kami yang sekarang sudah begitu renta masih tetap setia merawat rumah itu. Foto-foto yang mulai pudar warnanya tetap melekat pada dinding kamar. Ingatan memang sangat kurang ajar, karena hanya ingatan yang mampu mengubah waktu dalam sekejap. Seperti kembali di mana bau rokok klembak Simbah Ibu bercampur melati yang keluar dari sanggulnya menjadi bau yang selalu aku rindukan setiap kali pulang sekolah. Aku begitu rindu luar biasa pada perempuan itu. Penduduk desaku silih berganti datang mengucapkan selamat datang. Wajah-wajah mereka begitu penuh dengan rasa lelah luar biasa. Entah kapan terakhir mereka merasa bahagia. Wajah-wajah itu begitu berharap aku kembali memanggil Bidadari untuk mereka. Tetap mulut mereka membisu. Mereka takut berharap karena hanya harapan yang melahirkan luka. Untuk pertama kalinya sejak 9 tahun ini aku sangat merasa bersalah pada Simbah Ibu karena berhenti memanggil Bidadari. Aku melolong sejadi-jadinya karena rasa sesal itu begitu tak tertahankan. Aku putuskan malam ini aku kupanggil Bidadari kembali.
Benar saja, tepat jam 12 malam kulakukan kembali ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Simbah Ibu. Mungkin karena memang darahku adalah darah pemanggil Bidadari tak lama kemudian langit seperti benderang siang, Cahaya-cahaya yang selalu kurindukan itu turun seperti hujan yang meruah dari angkasa. Dadaku kembali berdentam dan orkestra di dalamnya mulai berbunyi. Para Bidadari kembali menaburkan cahaya pada mimpi-mimpi. Orang tanpa mimpi lebih dahulu mati daripada kematian itu sendiri. Airmataku tak henti-henti keluar, tapi aku tahu ini bukan airmata kesedihan tapi airmata dengan cahaya yang keluar dari dadaku. Serbuk bahagia dari para Bidadari itu mengalir juga ternyata dalam mimpiku. Kunang-kunang kembali berhamburan bahkan sebelum aku bersujud ke bumi. Kunang-kunang yang pasti di antaranya juga ada roh suci Simbah Ibu itu seperti mengerti bahwa aku mulai mengisi darahku kembali dengan mimpi karena hanya mimpi yang mampu meneruskan hidup. Karena mimpi adalah kekuatan.

Ubud, September 2011
Untuk Simbah Ibu semoga selalu menari disana…

Friday, December 30, 2011

CRAVE


kita pernah menjelajahi rerumputan itu pada suatu malam yang sepi. dimana suara malam sesekali berlalu lalang. lalu peluh yang masih mengalir harus sejenak berhenti, karena hatimu sejenak serasa mati. atau hanya waktu yang berhenti berkejap-kejap? suara jantungnyakah? yang tertidur nyenyak di seberang sana, kau mendengarnya. aku mendengarnya. dan dia juga mendengarnya dalam mimpi-mimpi kita. kamu ingat kita yang pernah bergoresan mimpi. hijau, biru dan merah? tak ada putih Sayang, juga tak ada hitam. hanya tiga warna belaka. warnanya, warnaku dan warnamu. pilihan kita masing-masing. adakah jalan ini berujung? kita masih duduk bersisian di antara rumput-rumput yang berpeluh.
maka darimu tumbuh bunga-bunga indah bertangkai dan berduri, ah Sayangku sebegitu besarnyakah luka? lihat dada itu, lihat dada itu, yang kau tusuk bertombak-tombak. kuambil kassa putih dan sedikit arak, kututup lukamu. kubalut dan kubiarkan matamu mengalir perih. hatiku pedih. kau tak bersuara hanya mengenang-genang, seperti kubangan-kubangan air di tepi jalanan ini. tubuhku lalu berdiri dan menari-nari berkecipakan air. tumpahkan segala, tumpahkanlah segala karena Sayangku, mendung itu membawa hujan datang beribu-ribu... dan apa salahnya menari di atas luka, menginjak-injak hati dan mati merdeka?
seperti kupu-kupu malam ataukah kunang-kunang, kita yang menari-nari disini. di bawah langit dan di atas bumi. tidak dilarang dan juga tidak dipandang, peduli apa peduli apa pada sisi-sisi kita yang berkikisan. jika bintang pun dibangun dari berjuta-juta kunang-kunang yang mengelilingi bumi. sama seperti kita yang bermain-main di dalamnya. tersamarlah gelak tawa kita seperti lima tahun lamanya hidup di dunia. gelak-gelak yang pernah hilang dikubur di tanah ini. dunia yang tak pernah suci dan tak akan pernah suci. lalu mengapa ia meminta kesempurnaan? Sayangku, kita tidak pernah sempurna.
hujan berhenti di sekian ribu curahannya. berkacalah kita pada sungai yang berwarna kecoklatan, dapatkah bayangan kita terpantul disana? larilah ke danau di pulau selatan, dapatkah bayangan kita terpantul disana, Sayangku? mungkin pada laut, pada laut hitam kita dapat melihatnya. kita adalah mahkluk-mahkluk dalam misteri yang tak berdasar.
jika sayap-sayap itu sudah cukup kuat lagi..terbanglah..awas jangan terlalu dekat dengan matahari
...
...
Your eyes, your ears, your mouth, your nose
Your arms, your legs, your heart, your soul
Touch me, touch me, touch me, touch me
My body craves your touch
...
I crave you
(Crave, Nuno Bettencourt)
...
...
...

ps: apa kabar kamar dan gitarmu? aku rindu.

Thursday, December 29, 2011

stasiun dan diam

bangku-bangku kusam
sisa asap sigaret
pembersih peron yang renta
lalu lalang orang
pertanyaan yang perih
kecewa yang berkarat
sakit pecah di dada
sia-sia yang meronta
ah, dimana kamu?
kangen tertawa
sebuah kota yang jauh
rindu main hujan
wajahmu memudar
hanya ingatan kabut
kamu benar tentang ingin
maaf telah menyakitimu
siapa aku ?
just nothingness
hey, ini hidup
sebuah diam menohok
waktu yang pudar
jejak yang tak jelas
lelah berjalan
ingin tidur dalam dunia cahaya
besok?
sebuah hari lain
terima kasih untuk hari kemarin

ps: selalu rindu lelaki yang selalu
menjemput di stasiun itu...

Catatan rel di sebuah jalan

kota ini menyimpan kenangan yang tak rapi
disana sini masih terkoyak catatan-catatan tentangmu
gedung-gedung bisu, wajah-wajah diam, dan carut marut
lampu berdentam di antara sepi sebuah kesendirian dalam
keramaian hinga bingar metropolitan yang lengkap dengan namamu
sepertinya jentera waktu tak cukup untuk menyudahi begitu saja
pintalan-pintalan usia yang makin menggurat dipori-pori kita
mungkin satu hari nanti akan kuletakkan begitu saja
hati yang menggetas untuk diterbangkan oleh angin disisa waktu kita
dengan ingatan tentang sebuah mata.

Wednesday, December 28, 2011

ruang yang meruang


ruang tunggu:

aku tunggu ruhmu disini kata detak pada sebuah bayang
mungkin ini saatnya kita ada di ruang yang sama
ruhmu dan ruhku akan duduk berdampingan
untuk melihat burung kolibri pulang pada
sebuah senja yang berputik jingga
dan mata kita akan kembali bercinta
untuk mengalirkan kembali detak
di tempat dimana darah kembali berpora


ruang nomor empat:

berjuta pertanyaan tentang cinta berhamburan di antara
sunyi yang mendera tiba-tiba dan berdentam sejuta
harap untuk sebuah permintaan
" Maukah kamu berbagi waktu denganku untuk membelah
semua belatung kegelisahaan dan resah yang memekakkan
dada?"
" Mungkin alamat tujuan kita berbeda arah, dan kita mungkin hanya berpapasan
di persimpangan dan sejenak duduk untuk saling menyapa rongga-rongga
yang tertelan senyap pada sebuah malami"
"yakinkan aku tentang dongeng-dongeng purba sebuah akhir yang selalu
bernama bahagia selama-lamanya , padahal sebuah sepatu kaca
akan retak setiap saat ketika berjejak pada realita yang meranggas"
"anak kecil di dalam diriku akan selalu butuh udara dan angin untuk
menerbangkan airmata yang berwarna biru"
"baiklah, selamat tinggal. aku membatu bersama ruangku"

ruang nomor sepuluh:

pada sebuah airmata kutambatkan luka yang mengangga pada sebuah
mimpi abu-abu bernama cinta.
pada sebuah senja kutautkan rasa tentang mimpi upik abu yang retak
tanpa pesta istana.
pada sebuah mata kutanyakan tentang makna sebuah labirin yang
berisi detak yang meronta.

ruang tak bernama:

kita sudah mati ketika kita tidak bermimpi
( ah,meskipun impian serapuh gelembung
sabun bukan?)


ruang dengan detak sunyi:

apa yang kita harus takuti pada sebuah sepi
ketika sunyi adalah deru nafas kita sendiri?


ruang bersama Tuhan:

Tuhan? ah itu sebuah nama generik untuk sebuah kekuatan Maha Besar di luar nalar
manusia.

ruangku :

aku pecinta yang memunguti serpihan rasa yang tercecer pada sebuah senja

ruangmu :

kamu sebebas angin dan udara, sebiru angkasa dan sedalam samodera

...
dan pada sebuah ruang bernama sekarang
kutempelkan nama-nama pada dinding-dinding kenangan
yang melekat begitu saja pada kepala
dengan rekahan luka yang begitu lirih bunyinya

...

( High and Dry -- Radiohead)

Tuesday, December 27, 2011

jejak yang lenyap dibalik dinding



Semua diam dalam derit waktu yang berkarat, hanya sekedar suara desah yang datang diam-diam, dan menawarkan secangkir kopi untuk menahan kantuk yang begitu abadi mengikuti bayang yang lindap dibalik tiktok jarum jam. Kedua tanganmu menangkup erat dan tetes hujan itu menyeretmu untuk bermain dihalaman depan dekat pohon jambu, dan terdengar derap sepatu tentara yang berbaris dalam kecipak air menetes dari daun yang pias menahan dingin, sementara awan terus bergerak ditengah kesiur angin membuyarkan impian yang berjalan pelan disisi jalan diantara dedaunan dan bunga rumput. Bayangan itu berkelebat disela bebatuan , lantas dipungutnya sejumput kenangan dan dilontarkan ketengah danau yang menganga keheranan akan tingkah lakunya ( ah.. rinai hujan terkadang melarutkan waktu yang meleleh bagai karet dan anak-anak kecil itu akan bersorak kegirangan karena mereka dapat memperpanjang masa kanak-kanak mereka).
Arloji itu mengisyaratkan kelelahan yang terbayang dikelopak mata, detik berjalan dengan pelan dan keraguan membayang disetiap seret langkahnya. Makin jauh ia bergerak mendekati puncak hari dan segera saja ditemuinya kebosanan yang konstan ditiap pertemuan jarum pendek dan panjang ( menghasilkan suara lonceng yang mengingatkan kepastian yang kaku), tapi toh ia harus bergerak karena waktu memang harus bergerak ( aku membayangkan gulali merah yang empuk dan manis membungkus arloji itu..)
Siapakah yang memanggilmu dari balik daun bambu, menawarkan kesepian dan gemersik angin lalu membawamu dalam percakapan waktu dan batu. Detak nadi dan degup jantung membawa pesan waktu yang membatu diujung lidahmu, kau sisakan kesepian yang terbuang dipinggir jalan untuk dimakan hewan dan segera saja kau tersadar : waktu demikian beku, bahkan ia tak sempat tersenyum untuk sebuah lelucon yang terlontar dari wajah polos seorang anak yang berangkat sekolah dengan harapan yang membuncah dan masa depan yang tak ia kenali.Tiktok jarum jam mengingatkanmu, jalan tengah ditempuh dengan kecepatan konstan, dan jejakmu menyendiri dibalik dinding logam, mencari pemaknaan yang tepat bagi setiap langkah yang meninggalkan jejak ditanah berpasir..

Friday, May 6, 2011

Perempuan Senja



Panggil saja aku Senja. Aku lahir saat hujan gelap. Suatu kelahiran yang aneh, karena cakrawala tidak berwarna jingga seperti yang seharusnya ketika sebuah senja menjadi pengantar nyanyian malaikat menjelang malam. Bahkan mungkin nama Senja itu asal saja keluar dari mulut ibuku saat dia mengerang kesakitan dan kesal dengan bapakku yang menghiburnya agar tetap sabar. Mungkin benar , saat aku lahir adalah saat dimana epilog termanis dari sebuah hari atau bahkan sebaliknya, saat dimana semua kegelapan berkumpul untuk berpora dalam sebuah malam tanpa suara.
Entah sebuah kebetulan atau memang sudah menjadi takdirku, di setiap senja aku selalu menangis. Bukan karena sedih, tapi sebaliknya. Saat kaki langit tidak lagi menyimpan matahari, aku selalu seperti punya kehidupan yang berlipat-lipat. Tubuhku selalu meliuk dan kakiku bergerak dengan sendirinya, setipis apapun sebuah bunyi, itu seperti sebuah musik yang wajib didengar. Aku menari dengan sangat gembira, dan karena aku sangat bahagia, maka aku menangis dengan luar biasa. Tarian dan tangis seperti sebuah paduan suara maha dahsyat bagi Semesta.
Orang-orang di kampungku selalu paham bahwa waktu menjelang magrib itu adalah kerajaanku. Yang ada hanya ada aku, desau angin dan senja yang menguasai waktu. Aku benar-benar menikmati tarianku karena aku tahu di setiap pintu yang berderit, banyak mata-mata berjakun dengan berbinar mengikuti detak di hatinya. Aku tidak pernah berniat menggoda mereka karena detak darah mereka sendirilah yang tergoda mengikuti bunyi darahku. Istri-istri mereka akan segera mengunci pintu rapat-rapat sambil mengucap mantra-mantra pengusir roh agar bayanganku tidak lagi menjadi hantu yang diam-diam menggerogoti otak suami-suami mereka.
Perempuan-perempuan itu sebenarnya tidak pernah benar-benar membenciku. Setiap pagi atau siang saat kami bersua di pasar, di puskesmas atau bahkan ketika duduk berdampingan di angkot, mereka akan menyapaku dengan ramah bahkan mereka sering memuji bajuku, dandananku dan tak jarang tarianku. Aku tahu mereka tulus saat mengucapkannya karena mata mereka selalu berbinar dan binar sepasang mata itu seperti keringat bayi yang tak tercemar oleh apapun.
Ya, hanya setiap senja saja tiba-tiba aku berubah menjad perempuan bertaring di mata mereka. Aku sama sekali tidak marah dengan itu semua karena aku tahu sekali bahwa mereka sangat rapuh. Hanya kerapuhan yang selalu melahirkan detak jantung lebih cepat dengan dengusan nafas lebih hebat. Aku memaafkan para perempuan itu karena mereka adalah gambaran sempurna tentang bidadari pemetik harpa bagi bayi-bayi yang kelak akan menempatkan sorga di bawah telapak kakinya.
Kebiasaan menari di setiap senja ini sebenarnya sudah ratusan tahun turun temurun dari moyangku. Nenek dari neneknya nenekku pun adalah penari-penari senja yang luar biasa. Konon nenek dari neneknya nenekku itu tarian-tarian senjanya mampu membuat malaikat maut berpaling dari tugasnya hanya untuk melihatnya menari. Utusan Tuhan yang paling berkuasa atas roh manusia itupun bahkan bersedia menjadi malaikat jatuh dan dikutuk menjadi penghuni kegelapan jika dilarang melihat tarian senja nenek dari neneknya nenekku itu. Perempuan penari senja yang hebat.
Aku sendiri belajar menari dari nenekku. Seorang perempuan sederhana dengan mata kecil yang memancarkan cahaya sorga. Perempuan tua yang mengajarkan bahwa karena perempuan mengenal tubuhnya dengan baik maka perempuan menjadi manusia yang paling mengerti tentang apa itu rasa. Benar, karena ketika setiap bulan kami harus mengeluarkan darah dari rahim kami yang merah muda, juga karena kami melahirkan anak-anak, maka setiap perempuan tahu persis apa bedanya marah, kecewa, sakit hati, sedih dan luka. Sedangkan lelaki sering sekali gagap dengan apa yang terjadi di dalam detak jantungnya sendiri. Nenekku jelas-jelas bangga menjadi perempuan, meski konon kakekku seringkali membuat hati nenekku seperti gelas kristal yang jatuh ke marmer tapi nenekku tetap selalu menari di setiap senja dengan mata bercahaya seperti matahari sorga. Demikianlah, sejak aku keluar dari rahim ibuku yang juga bersinar , kakiku sudah bergerak dengan sendirinya di setiap senja.
Hingga pada satu hari di sebuah senja yang rapuh, lelaki itu datang dalam hidupku. Pada awalnya dia hanya mengagumi tarianku saja, seperti lelaki-lelaki pada umumnya yang selalu terpana dengan gerakku. Ketika bunyi terakir dari dentam musikku berhenti dan jutaan bulir air keluar deras dari tubuhku, dia menyodorkan saputangan dengan sulaman sepasang burung kolibri berwarna ungu. Tanpa menunggu anggukanku, disapukannya saputangan itu di sekujur poriku yang menderas. Jantungku berhenti. Sejuta genderang tiba-tiba mengambil alih dalam sekat-sekatnya. Dia tersenyum dari matanya. Senyuman yang menimbulkan gemerincing kecil pada telingaku untuk mengatakan ”Ya” pada sebuah pernjanjian bernama cinta.
Aku jatuh cinta pada sebuah senja di awal purnama. Sebuah senja yang melahirkan cinta, begitu aku selalu menuliskannya pada angkasa tentang saat itu. Cinta yang membuatku mampu untuk memilihnya dibanding roh penari yang melata begitu saja di dalam diriku.
Akhirnya aku beranak pinak dengan lelaki itu. Sejak kami menikah aku berhenti menari di setiap senja. Para perempuan menjadi lebih ramah kepadaku, dan sering sekali mereka berbasa-basi mengatakan badanku masih sangat indah. Basa-basi yang menyedihkan karena jelas-jelas badanku membutuhkan kain 2 lebih banyak sekarang ini. Tapi anehnya , setiap lelaki yang berpapasan denganku , entah di sawah, di kantor pos maupun ketika kami tidak sengaja berserobok mata di jalanan, mata mereka selalu memancarkan kesedihan luar biasa; mata anak-anak yang kehilangan ibunya.
Selain itu sejak aku berhenti menari di setiap senja, sedikit demi sedikit warna-warna mulai memudar dari segalanya. Baju-baju berwarna selalu menjadi luntur, pohon-pohon bungapun mengeluarkan bunga-bunga dengan warna yg makin memucat setiap harinya. Tepat di kelahiran anakku yang ke 3, semua warna akhirnya total hilang dari desaku. Hanya warna hitam, putih dan abu-abu. Benar-benar sebuah desa yang muram.
Kesedihan menjadi begitu mudah lahir. Meskpun orang-orang selalu memaksakan senyum di wajah mereka, tetapi berkilo-kilo kesedihan yang pekat tersembunyi di balik dada mereka. Kebahagiaan menjadi barang langka. Kematian menjadi merajalela karena orang-orang tidak lagi melahirkan mimpi dari hidupnya. Banyak perceraian terjadi karena akhirnya banyak lelaki yang membatu di malam-malam yang penuh rasa mencekat. Rasa yang sedih itu akhirnya melahirkan kemarahan.
Orang-orang itu akhirnya marah kepada lelakiku. Mereka mengangap dialah yang telah merenggut aku dari setiap senja yang selalu mereka nantikan. Senja yang memberi gairah pada hati mereka. Senja yang memberi kecemburuan dan para perempuan sangat berterima kasih karena menyadari betapa mereka masih punya cinta luar biasa kepada suami-suami mereka. Senja yang memberi gairah pada lelaki-lelaki itu ketika mencumbu para istri, dengan memberi gambaran jelas diriku ketika menari di atas malam-malamnya.
Mereka akhirnya bersekongkol untuk memboikot lelakiku. Mereka tidak pernah lagi menyapanya, dan mengucilkannya dari kegiatan-kegiatan sosial kampung kami. Bahkan ada yang dengan sengaja mencaci-maki penuh kebencian. Lelaki yang selembut burung kolibri itupun terluka. Dia tidak tahan dengan kesepian itu; kesepian yang meluluhlantakkan.
Hingga pada sebuah senja di akhir purnama, lelaki itu pergi. Menghilang tanpa suara, dan hanya saputangan dengan sulaman burung kolibri yang dia tinggalkan di atas meja begitu saja. Aku melolong. Kuteriakkan namanya ke segala penjuru angkasa. Sebuah robekan maha dahsyat merongga di hatiku. Sangat perih. Tiap saat aku menangis seperti menggila. Bahkan orang-orang akhirnya menganggapku demikian.
Demikianlah selama berbulan-bulan sampai menjelang tahun yang baru aku selalu menangis. Tangisan yang makin membuat warna abu-abu mengental. Kesedihan memekat. Di setiap senja, bukan lagi dentam musik dan tarian yang keluar dari dadaku tetapi lolongan kesedihanku menguak di angkasa. Kupanggil-panggil namanya dengan semua cinta yang ada. Angkasa tetap selalu diam. Semakin aku melolong, semakin pekat senja itu terasa.
Hingga pada satu senja yang begitu deras dengan hujan, kuputuskan kuhentikan lolonganku. Kuambil kembali rebanaku, dan kuhentakkan kembali kakiku di atas bumi. Aku yakin sekali saat itu Pertiwi si dewi bumi pasti akan terkejut karena kakiku tiba-tiba membangunkannya. Di dalam hujan yang seperti airmata langit di sebuah senja, aku menari lagi. Kugerakkan tubuhku dengan kehausan yang sangat untuk bergerak. Untuk sesaat desa itu tercekat, karena sudah bermasa-masa desa itu asing dengan bunyi dentam kakiku. Satu persatu mereka memberanikan diri keluar untuk meyakinkan bahwa perempuan senja yang menari itu telah kembali. Satu persatu tirai-tirai jendela mulai tersibak dan debar kecemburuan mulai lagi meruak diantara darah perempuan-perempuan desa ketika suami-suami mereka mulai menggerakkan kembali jakunnya.
“Ssst…jangan nangis nak, perempuan senja telah kembali, jangan ganggu dia dengan tangismu, ” begitu kira-kira buaian para ibu ketika bayi-bayi mereka merengek meminta air dari dadanya. Keriaan kembali melanda desaku. Senyum mulai bertebaran. Sejak hari itu, sedikit demi sedikit warna mulai bermunculan dimana-mana. Setiap senja adalah waktu yang dinanti-nantikan. Ditutupnya semua toko, dan orang-orang yang berpergian dengan terburu-buru kembali pulang agar detak jantung mereka tak terlewatkan saat sangkakala berbunyi, pertanda tarian senja sudah dimulai.
Kugerakkan kakiku yang mungkin sudah mulai tidak kuat lagi menahan berat tubuhku. Tapi entah kenapa kakiku tetap selalu menggila dengan mendentam di atas ibu bumi dan melahirkan puja-puja bagi alam raya diantara senandung bahagia para penghuni desaku. Peluh berhamburan luar biasa dan aku bahagia karena artinya aku bisa menyembunyikan air yang sebenarnya selalu menitik dari sudut mataku. Aku rindu padanya. Sungguh aku benar-benar rindu lelaki kolibriku. Rindu yang benar-benar melahirkan bara.
Semakin hari tarianku semakin dipuja. Orang-orang semakin bersuka. Bukan itu saja, bahkan tarian senjaku semakin menggema tidak hanya di desaku tapi desa sebelahku, bahkan akhirnya semua desa diseluruh penjuru negeri ini. Seperti sebuah ritual sekarang ini, di setiap senja banyak perempuan mulai berdandan seperti seolah-olah akan bersaing ilmu pemikat denganku demi suaminya. Gairah kembali hadir di setiap rumah. Malam-malam selain percintaan yang menggetarkan tak jarang juga pertengkaran terjadi diantara suami istri dengan topik, tentu saja, aku si perempuan senja. Tetapi mereka tahu pertengkaran itu adalah bukti bahwa mereka sebenarnya saling mencintai. Akupun sangat bahagia karena aku mampu melahirkan cinta-cinta di antara malam-malam mereka.
Begitulah. Sepanjang waktu di seumur hidupku aku tetap menari di setiap senja. Perlahan rambutku mulai memutih, kulitku pun pelan-pelan mulai berubah tekstur. Tetapi aku tahu, tarian senjaku tetap mereka butuhkan, dan oleh karenanya dengan rasa bahagia aku tetap menari untuk mereka. Aku tahu nenekku di sebuah tempat yang konon bernama sorga akan tersenyum bahagia karena aku tetap menjadi penari senjanya.
Sekarangpun cucu perempuanku mulai mengikuti bergerak di belakangku setiap aku menari; persis yang kulakukan dahulu dengan nenekku. Aku sangat mencintai perempuan kecil bermata bulat itu. Kami sering menari bersama di antara hujan dan warna-warna jingga di batas cakrawala. Tarian untuk semesta yang kutarikan ini adalah Cinta. Seperti halnya cinta yang selalu kuruahkan pada angkasa dengan satu bisikan “Lelaki kolibriku, dimana kamu?”

Ubud, 25 Desember 2010
Untuk lelaki-lelaki kecilku : Banyu Bening & Langit Jingga yang lahir pada sebuah senja…
Untuk Lelakiku: Erwin M Sitorus