Wednesday, October 27, 2010

Rongga



Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit dimana langit mengeluarkan warna terbaiknya, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan tapi hampir nyaris tidak ada satupun desah keluar .Mencekam. Suara membisu bersama desir angin yang berbisik di celah-celah hutan bambu dengan intonasi sangat lirih, begitu memelas. Batu-batu jalanan desa bahkan seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai datang dan kesedihan-kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan yang berwarna oranye. Begitu pekat. Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Layaknya aturan dari Tuhan , di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Apalagi didiskusikan. Seperti pemerintah tiran, ketika kesedihan dibicarakan maka tanpa ampun lagi kerongkongan para penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya. Beberapa orang dengan rongga di kerongkongannya segera menutupi lehernya dengan berbagai cara, ada yang memakai kalung dengan batu mulia sebesar lubang itu, ada yang kemudian memakai kain , ataupun memesan pakaian khusus agar leher mereka tertutup rapat. Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak, rongga di leher itu begitu mudahnya infeksi dan kesakitan akan semakin menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tidak ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu dimana kesedihan itu berada. Sepanjang pagi dan siang akan tampak hanya muka-muka bahagia, tawa-tawa yang menggelegar, basa-basi yang begitu meruah. Bahkan orang-orang yang berongga di lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia , begitulah jargon yang berlaku . Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang harus dihindari jauh-jauh kalau perlu harus dimusnahkan. Haram hukumnya buat orang yang menerima kesedihan , apalagi menangisinya dan berbagi. Sejak lahir, para bayi tahu bahwa jargon itu seperti dogma agama yang terus menerus didengungkan kepada roh-roh suci itu. Harus ditaati dan tidak boleh dibantah apalagi dilawan. Para ibu secara otomatis membuai anak-anaknya dengan senandung anti kesedihan. Ketika anak-anak membesar dan bertanya tentang kata sedih, buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa penguasa kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut anak-anak yang begitu indah bola matanya itu.
”Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang airmata demi dunia yang gembira, jauhi dunia gelapmu , hanya tawa yang berhak di hati kita” demikian kira-kira senandung itu.Sambil menikmati kehangatan dada ibunya yang ranum, para bayipun dengan sendirinya menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia.
Ketika pemilihan kepala desapun, para kandidat berlomba-lomba menawarkan program paling efektif bagaimana melawan kesedihan . Seperti supermarket dengan diskon besar-besaran menjelang hari raya, program yang paling menarik akan diserbu habis-habisan . Bahkan para mahasiswa yang melakukan kuliah kerja di desa itu diwajibkan hanya mengajar program kebahagiaan dan sebuah kontrak bermeterai harus mereka tanda tangani dengan sangsi sangat berat bagi mereka yang melanggarnya. Tiran emosi! Begitu umpatan para mahasiswa . Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi peraturan desa itu tanpa kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia bahkan begitu gencar menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan yang amat besar. Airmata harus ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar menerbangkan keluarganya entah kemana , Kemplu tertawa gembira, diadakannya pesta besar dan dijamunya hampir seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia kawin lagi dan beranak pinak. Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah. Begitulah kira-kira cemoohnya.
” Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang di umbar itu hanya milik orang-orang yang tidak bermartabat. Airmata hanya sebuah kebodohan”
Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong. Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti airmata yang hampir jatuh, kesedihan seperti menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa itu, kepanikan selalu melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada mereka dengan tali yang begitu erat, mulut mereka segera ditutup dengan plester yang sangat kuat. Mereka mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak agar leher mereka tidak berongga dan kesakitan tidak akan lagi menjadi teman mereka sepanjang nafas yang tersisa. Mereka diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat dengan kesedihan tidak harus jebol dari mulut dan mata mereka. Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada tempatnya. Di ujung paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak pernah bisa menemukannya untuk merobeknya dan dicatat dalam catatan sucinya. Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan karena kerongkongan berongga lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang paling tajam sekalipun. Di setiap semburat jingga mulai bertiup di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Semua rapat menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah mereka. Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja. Istrinya hanya tau dia pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan Gembira oleh penduduknya meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok dengan udara yang dihembuskannya setiap pagi. Udara yang pekat dengan kesedihan. Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu , gesekan daun-daunya menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan pohon-pohon itu bergaung bersaut-sautan dengan irama yang paling lantang. Senandung kesedihan yang sangat menghebat luar biasa. Ketika orang menyentuh papan nama ”Hutan Gembira”, mereka seperti meremas menembus jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di dalamnya untuk dimuntahkan. Persis ”ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di film laga . Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum pernah ada yang bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari hutan dengan wajah penuh tawa dan keceriaan luar biasa selalu menjawab bahwa kesedihan hutan itu sudah ada bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon pertama kalinya di sana. Semesta menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi satu-satunya kenapa kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini. ” Adam manusia pertama, jadi dia punya hak khusus dan hanya satu-satunya yang boleh merasakan rasa sedih itu. Kalian tahu rasa itu begitu memekat di hati maka anak cucunya harus membasminya” Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu setitikpun.
Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa satu-satunya jalan agar tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah membuat taman keriaan yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan Gembira. Semua setuju, juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya. Mereka sangat berharap dengan adanya taman keriaan itu rasa sakit yang bernanah di kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu yang protes. ”Kita perlu oksigen segar dan itu merusak lingkungan” begitu dalihnya menirukan para aktifis linkungan di televisi dengan teriakan paling lantang. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap keras kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira . Dalam hitungan jam sebanyak beberapa jari tangan saja, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa. Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat senja, padahal terik matahari seperti meretakan kepala mereka. Seperti saat sakaratul maut tersenyum dengan manisnya dan siap mencabut semua jejak nafas yang tersisa di dunia ini. Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang tersisa. Ketika mulut buldoser hanya menyisakan satu senti saja dari ujung pohon itu tiba-tiba suara Kemplu keluar dengan histeria yang hanya dimiliki oleh orang dengan kesedihan yang begitu pekat dan kental.
”Jangan ...!” suara yang bercampur isak yang sudah bertahun membatu. Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua warga jantungnya berhenti berdetak. Kemplu lelaki paling kuat dan paling jagoan di desa itu melantangkan kesedihan yang begitu hebat. Isak tangis yang meruah tanpa bisa dihentikan oleh buaian perempuan berpayudara sorga sekalipun.
”Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka tidak hilang bersama badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap senja. Aku berikan percakapan bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus telingaku.. Aku mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki . Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu sembunyi di rongga itu, kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku. Maafkan , kesedihan ini tidak tertahankan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong , jangan ambil pohonku, hanya itu satu-satunya yang mau mendengarkanku.. .Aku akan mati tanpa rongga itu......” suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di kerongkongannya tiba-tiba menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga itu tidak berhenti sebatas kerongkongan, rongga itu makin membesar, dan membesar hingga akhirnya tubuh Kemplu meledak dan serpihan tubuhnya berhamburan, membeku seperti batu. Hanya jantungnya yang tetap berdetak. Istri barunya pingsan, anak-anaknya meleleh. Hening pekat. Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap. Sambil setengah meyakinkan dirinya bahwa adegan itu mungkin sebuah rekayasa ilusi dari Kemplu, kepala desa memungut jantung berdetak itu. Berhati-hati dimasukannya j ke dalam rongga pohon terakhir itu. Begitu dimasukkan, pohon itu hidup seperti di ruang keluarga bahagia di iklan TV. Suara gelak tawa yang menggelegar, dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua warga yang mendengar suara dari rongga pohon itu tahu bahwa Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya.
Sejak itu, ada yang sangat berubah. Setiap senja, desa itu begitu riuh dengan tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka lebar-lebar, meski angin mungkin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi para penduduk desa itu tahu bahwa hati mereka akan sangat luar biasa menahannya. Mereka tahu bahwa setiap senja jatuh, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita rasa yang memekat. Kesedihan yang sangat bersahabat. Ketika mereka mengenal begitu baiknya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air Mata. Siapapun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya . Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan ingin merasakan bagaimana indahnya kesedihan di taman itu bisa membeli obat perangsang kesedihan yang biasanya ditawarkan petugas penyobek tiket tanda masuk. Tak lupa setiap pengunjung taman sebelum pulang pasti akan selalu menyempatkan berfoto di pohon Kemplu, demikian mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak di tebang itu. Pohon yang luar biasa merindang
...
Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.
...
Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat...

Ubud, 15-Juni-2010
Untuk lelaki-lelaki kecil hebatku, Banyu Bening dan Langit Jingga