Friday, May 6, 2011

Perempuan Senja



Panggil saja aku Senja. Aku lahir saat hujan gelap. Suatu kelahiran yang aneh, karena cakrawala tidak berwarna jingga seperti yang seharusnya ketika sebuah senja menjadi pengantar nyanyian malaikat menjelang malam. Bahkan mungkin nama Senja itu asal saja keluar dari mulut ibuku saat dia mengerang kesakitan dan kesal dengan bapakku yang menghiburnya agar tetap sabar. Mungkin benar , saat aku lahir adalah saat dimana epilog termanis dari sebuah hari atau bahkan sebaliknya, saat dimana semua kegelapan berkumpul untuk berpora dalam sebuah malam tanpa suara.
Entah sebuah kebetulan atau memang sudah menjadi takdirku, di setiap senja aku selalu menangis. Bukan karena sedih, tapi sebaliknya. Saat kaki langit tidak lagi menyimpan matahari, aku selalu seperti punya kehidupan yang berlipat-lipat. Tubuhku selalu meliuk dan kakiku bergerak dengan sendirinya, setipis apapun sebuah bunyi, itu seperti sebuah musik yang wajib didengar. Aku menari dengan sangat gembira, dan karena aku sangat bahagia, maka aku menangis dengan luar biasa. Tarian dan tangis seperti sebuah paduan suara maha dahsyat bagi Semesta.
Orang-orang di kampungku selalu paham bahwa waktu menjelang magrib itu adalah kerajaanku. Yang ada hanya ada aku, desau angin dan senja yang menguasai waktu. Aku benar-benar menikmati tarianku karena aku tahu di setiap pintu yang berderit, banyak mata-mata berjakun dengan berbinar mengikuti detak di hatinya. Aku tidak pernah berniat menggoda mereka karena detak darah mereka sendirilah yang tergoda mengikuti bunyi darahku. Istri-istri mereka akan segera mengunci pintu rapat-rapat sambil mengucap mantra-mantra pengusir roh agar bayanganku tidak lagi menjadi hantu yang diam-diam menggerogoti otak suami-suami mereka.
Perempuan-perempuan itu sebenarnya tidak pernah benar-benar membenciku. Setiap pagi atau siang saat kami bersua di pasar, di puskesmas atau bahkan ketika duduk berdampingan di angkot, mereka akan menyapaku dengan ramah bahkan mereka sering memuji bajuku, dandananku dan tak jarang tarianku. Aku tahu mereka tulus saat mengucapkannya karena mata mereka selalu berbinar dan binar sepasang mata itu seperti keringat bayi yang tak tercemar oleh apapun.
Ya, hanya setiap senja saja tiba-tiba aku berubah menjad perempuan bertaring di mata mereka. Aku sama sekali tidak marah dengan itu semua karena aku tahu sekali bahwa mereka sangat rapuh. Hanya kerapuhan yang selalu melahirkan detak jantung lebih cepat dengan dengusan nafas lebih hebat. Aku memaafkan para perempuan itu karena mereka adalah gambaran sempurna tentang bidadari pemetik harpa bagi bayi-bayi yang kelak akan menempatkan sorga di bawah telapak kakinya.
Kebiasaan menari di setiap senja ini sebenarnya sudah ratusan tahun turun temurun dari moyangku. Nenek dari neneknya nenekku pun adalah penari-penari senja yang luar biasa. Konon nenek dari neneknya nenekku itu tarian-tarian senjanya mampu membuat malaikat maut berpaling dari tugasnya hanya untuk melihatnya menari. Utusan Tuhan yang paling berkuasa atas roh manusia itupun bahkan bersedia menjadi malaikat jatuh dan dikutuk menjadi penghuni kegelapan jika dilarang melihat tarian senja nenek dari neneknya nenekku itu. Perempuan penari senja yang hebat.
Aku sendiri belajar menari dari nenekku. Seorang perempuan sederhana dengan mata kecil yang memancarkan cahaya sorga. Perempuan tua yang mengajarkan bahwa karena perempuan mengenal tubuhnya dengan baik maka perempuan menjadi manusia yang paling mengerti tentang apa itu rasa. Benar, karena ketika setiap bulan kami harus mengeluarkan darah dari rahim kami yang merah muda, juga karena kami melahirkan anak-anak, maka setiap perempuan tahu persis apa bedanya marah, kecewa, sakit hati, sedih dan luka. Sedangkan lelaki sering sekali gagap dengan apa yang terjadi di dalam detak jantungnya sendiri. Nenekku jelas-jelas bangga menjadi perempuan, meski konon kakekku seringkali membuat hati nenekku seperti gelas kristal yang jatuh ke marmer tapi nenekku tetap selalu menari di setiap senja dengan mata bercahaya seperti matahari sorga. Demikianlah, sejak aku keluar dari rahim ibuku yang juga bersinar , kakiku sudah bergerak dengan sendirinya di setiap senja.
Hingga pada satu hari di sebuah senja yang rapuh, lelaki itu datang dalam hidupku. Pada awalnya dia hanya mengagumi tarianku saja, seperti lelaki-lelaki pada umumnya yang selalu terpana dengan gerakku. Ketika bunyi terakir dari dentam musikku berhenti dan jutaan bulir air keluar deras dari tubuhku, dia menyodorkan saputangan dengan sulaman sepasang burung kolibri berwarna ungu. Tanpa menunggu anggukanku, disapukannya saputangan itu di sekujur poriku yang menderas. Jantungku berhenti. Sejuta genderang tiba-tiba mengambil alih dalam sekat-sekatnya. Dia tersenyum dari matanya. Senyuman yang menimbulkan gemerincing kecil pada telingaku untuk mengatakan ”Ya” pada sebuah pernjanjian bernama cinta.
Aku jatuh cinta pada sebuah senja di awal purnama. Sebuah senja yang melahirkan cinta, begitu aku selalu menuliskannya pada angkasa tentang saat itu. Cinta yang membuatku mampu untuk memilihnya dibanding roh penari yang melata begitu saja di dalam diriku.
Akhirnya aku beranak pinak dengan lelaki itu. Sejak kami menikah aku berhenti menari di setiap senja. Para perempuan menjadi lebih ramah kepadaku, dan sering sekali mereka berbasa-basi mengatakan badanku masih sangat indah. Basa-basi yang menyedihkan karena jelas-jelas badanku membutuhkan kain 2 lebih banyak sekarang ini. Tapi anehnya , setiap lelaki yang berpapasan denganku , entah di sawah, di kantor pos maupun ketika kami tidak sengaja berserobok mata di jalanan, mata mereka selalu memancarkan kesedihan luar biasa; mata anak-anak yang kehilangan ibunya.
Selain itu sejak aku berhenti menari di setiap senja, sedikit demi sedikit warna-warna mulai memudar dari segalanya. Baju-baju berwarna selalu menjadi luntur, pohon-pohon bungapun mengeluarkan bunga-bunga dengan warna yg makin memucat setiap harinya. Tepat di kelahiran anakku yang ke 3, semua warna akhirnya total hilang dari desaku. Hanya warna hitam, putih dan abu-abu. Benar-benar sebuah desa yang muram.
Kesedihan menjadi begitu mudah lahir. Meskpun orang-orang selalu memaksakan senyum di wajah mereka, tetapi berkilo-kilo kesedihan yang pekat tersembunyi di balik dada mereka. Kebahagiaan menjadi barang langka. Kematian menjadi merajalela karena orang-orang tidak lagi melahirkan mimpi dari hidupnya. Banyak perceraian terjadi karena akhirnya banyak lelaki yang membatu di malam-malam yang penuh rasa mencekat. Rasa yang sedih itu akhirnya melahirkan kemarahan.
Orang-orang itu akhirnya marah kepada lelakiku. Mereka mengangap dialah yang telah merenggut aku dari setiap senja yang selalu mereka nantikan. Senja yang memberi gairah pada hati mereka. Senja yang memberi kecemburuan dan para perempuan sangat berterima kasih karena menyadari betapa mereka masih punya cinta luar biasa kepada suami-suami mereka. Senja yang memberi gairah pada lelaki-lelaki itu ketika mencumbu para istri, dengan memberi gambaran jelas diriku ketika menari di atas malam-malamnya.
Mereka akhirnya bersekongkol untuk memboikot lelakiku. Mereka tidak pernah lagi menyapanya, dan mengucilkannya dari kegiatan-kegiatan sosial kampung kami. Bahkan ada yang dengan sengaja mencaci-maki penuh kebencian. Lelaki yang selembut burung kolibri itupun terluka. Dia tidak tahan dengan kesepian itu; kesepian yang meluluhlantakkan.
Hingga pada sebuah senja di akhir purnama, lelaki itu pergi. Menghilang tanpa suara, dan hanya saputangan dengan sulaman burung kolibri yang dia tinggalkan di atas meja begitu saja. Aku melolong. Kuteriakkan namanya ke segala penjuru angkasa. Sebuah robekan maha dahsyat merongga di hatiku. Sangat perih. Tiap saat aku menangis seperti menggila. Bahkan orang-orang akhirnya menganggapku demikian.
Demikianlah selama berbulan-bulan sampai menjelang tahun yang baru aku selalu menangis. Tangisan yang makin membuat warna abu-abu mengental. Kesedihan memekat. Di setiap senja, bukan lagi dentam musik dan tarian yang keluar dari dadaku tetapi lolongan kesedihanku menguak di angkasa. Kupanggil-panggil namanya dengan semua cinta yang ada. Angkasa tetap selalu diam. Semakin aku melolong, semakin pekat senja itu terasa.
Hingga pada satu senja yang begitu deras dengan hujan, kuputuskan kuhentikan lolonganku. Kuambil kembali rebanaku, dan kuhentakkan kembali kakiku di atas bumi. Aku yakin sekali saat itu Pertiwi si dewi bumi pasti akan terkejut karena kakiku tiba-tiba membangunkannya. Di dalam hujan yang seperti airmata langit di sebuah senja, aku menari lagi. Kugerakkan tubuhku dengan kehausan yang sangat untuk bergerak. Untuk sesaat desa itu tercekat, karena sudah bermasa-masa desa itu asing dengan bunyi dentam kakiku. Satu persatu mereka memberanikan diri keluar untuk meyakinkan bahwa perempuan senja yang menari itu telah kembali. Satu persatu tirai-tirai jendela mulai tersibak dan debar kecemburuan mulai lagi meruak diantara darah perempuan-perempuan desa ketika suami-suami mereka mulai menggerakkan kembali jakunnya.
“Ssst…jangan nangis nak, perempuan senja telah kembali, jangan ganggu dia dengan tangismu, ” begitu kira-kira buaian para ibu ketika bayi-bayi mereka merengek meminta air dari dadanya. Keriaan kembali melanda desaku. Senyum mulai bertebaran. Sejak hari itu, sedikit demi sedikit warna mulai bermunculan dimana-mana. Setiap senja adalah waktu yang dinanti-nantikan. Ditutupnya semua toko, dan orang-orang yang berpergian dengan terburu-buru kembali pulang agar detak jantung mereka tak terlewatkan saat sangkakala berbunyi, pertanda tarian senja sudah dimulai.
Kugerakkan kakiku yang mungkin sudah mulai tidak kuat lagi menahan berat tubuhku. Tapi entah kenapa kakiku tetap selalu menggila dengan mendentam di atas ibu bumi dan melahirkan puja-puja bagi alam raya diantara senandung bahagia para penghuni desaku. Peluh berhamburan luar biasa dan aku bahagia karena artinya aku bisa menyembunyikan air yang sebenarnya selalu menitik dari sudut mataku. Aku rindu padanya. Sungguh aku benar-benar rindu lelaki kolibriku. Rindu yang benar-benar melahirkan bara.
Semakin hari tarianku semakin dipuja. Orang-orang semakin bersuka. Bukan itu saja, bahkan tarian senjaku semakin menggema tidak hanya di desaku tapi desa sebelahku, bahkan akhirnya semua desa diseluruh penjuru negeri ini. Seperti sebuah ritual sekarang ini, di setiap senja banyak perempuan mulai berdandan seperti seolah-olah akan bersaing ilmu pemikat denganku demi suaminya. Gairah kembali hadir di setiap rumah. Malam-malam selain percintaan yang menggetarkan tak jarang juga pertengkaran terjadi diantara suami istri dengan topik, tentu saja, aku si perempuan senja. Tetapi mereka tahu pertengkaran itu adalah bukti bahwa mereka sebenarnya saling mencintai. Akupun sangat bahagia karena aku mampu melahirkan cinta-cinta di antara malam-malam mereka.
Begitulah. Sepanjang waktu di seumur hidupku aku tetap menari di setiap senja. Perlahan rambutku mulai memutih, kulitku pun pelan-pelan mulai berubah tekstur. Tetapi aku tahu, tarian senjaku tetap mereka butuhkan, dan oleh karenanya dengan rasa bahagia aku tetap menari untuk mereka. Aku tahu nenekku di sebuah tempat yang konon bernama sorga akan tersenyum bahagia karena aku tetap menjadi penari senjanya.
Sekarangpun cucu perempuanku mulai mengikuti bergerak di belakangku setiap aku menari; persis yang kulakukan dahulu dengan nenekku. Aku sangat mencintai perempuan kecil bermata bulat itu. Kami sering menari bersama di antara hujan dan warna-warna jingga di batas cakrawala. Tarian untuk semesta yang kutarikan ini adalah Cinta. Seperti halnya cinta yang selalu kuruahkan pada angkasa dengan satu bisikan “Lelaki kolibriku, dimana kamu?”

Ubud, 25 Desember 2010
Untuk lelaki-lelaki kecilku : Banyu Bening & Langit Jingga yang lahir pada sebuah senja…
Untuk Lelakiku: Erwin M Sitorus