Friday, December 30, 2011
CRAVE
kita pernah menjelajahi rerumputan itu pada suatu malam yang sepi. dimana suara malam sesekali berlalu lalang. lalu peluh yang masih mengalir harus sejenak berhenti, karena hatimu sejenak serasa mati. atau hanya waktu yang berhenti berkejap-kejap? suara jantungnyakah? yang tertidur nyenyak di seberang sana, kau mendengarnya. aku mendengarnya. dan dia juga mendengarnya dalam mimpi-mimpi kita. kamu ingat kita yang pernah bergoresan mimpi. hijau, biru dan merah? tak ada putih Sayang, juga tak ada hitam. hanya tiga warna belaka. warnanya, warnaku dan warnamu. pilihan kita masing-masing. adakah jalan ini berujung? kita masih duduk bersisian di antara rumput-rumput yang berpeluh.
maka darimu tumbuh bunga-bunga indah bertangkai dan berduri, ah Sayangku sebegitu besarnyakah luka? lihat dada itu, lihat dada itu, yang kau tusuk bertombak-tombak. kuambil kassa putih dan sedikit arak, kututup lukamu. kubalut dan kubiarkan matamu mengalir perih. hatiku pedih. kau tak bersuara hanya mengenang-genang, seperti kubangan-kubangan air di tepi jalanan ini. tubuhku lalu berdiri dan menari-nari berkecipakan air. tumpahkan segala, tumpahkanlah segala karena Sayangku, mendung itu membawa hujan datang beribu-ribu... dan apa salahnya menari di atas luka, menginjak-injak hati dan mati merdeka?
seperti kupu-kupu malam ataukah kunang-kunang, kita yang menari-nari disini. di bawah langit dan di atas bumi. tidak dilarang dan juga tidak dipandang, peduli apa peduli apa pada sisi-sisi kita yang berkikisan. jika bintang pun dibangun dari berjuta-juta kunang-kunang yang mengelilingi bumi. sama seperti kita yang bermain-main di dalamnya. tersamarlah gelak tawa kita seperti lima tahun lamanya hidup di dunia. gelak-gelak yang pernah hilang dikubur di tanah ini. dunia yang tak pernah suci dan tak akan pernah suci. lalu mengapa ia meminta kesempurnaan? Sayangku, kita tidak pernah sempurna.
hujan berhenti di sekian ribu curahannya. berkacalah kita pada sungai yang berwarna kecoklatan, dapatkah bayangan kita terpantul disana? larilah ke danau di pulau selatan, dapatkah bayangan kita terpantul disana, Sayangku? mungkin pada laut, pada laut hitam kita dapat melihatnya. kita adalah mahkluk-mahkluk dalam misteri yang tak berdasar.
jika sayap-sayap itu sudah cukup kuat lagi..terbanglah..awas jangan terlalu dekat dengan matahari
...
...
Your eyes, your ears, your mouth, your nose
Your arms, your legs, your heart, your soul
Touch me, touch me, touch me, touch me
My body craves your touch
...
I crave you
(Crave, Nuno Bettencourt)
...
...
...
ps: apa kabar kamar dan gitarmu? aku rindu.
Thursday, December 29, 2011
stasiun dan diam
bangku-bangku kusam
sisa asap sigaret
pembersih peron yang renta
lalu lalang orang
pertanyaan yang perih
kecewa yang berkarat
sakit pecah di dada
sia-sia yang meronta
ah, dimana kamu?
kangen tertawa
sebuah kota yang jauh
rindu main hujan
wajahmu memudar
hanya ingatan kabut
kamu benar tentang ingin
maaf telah menyakitimu
siapa aku ?
just nothingness
hey, ini hidup
sebuah diam menohok
waktu yang pudar
jejak yang tak jelas
lelah berjalan
ingin tidur dalam dunia cahaya
besok?
sebuah hari lain
terima kasih untuk hari kemarin
ps: selalu rindu lelaki yang selalu
menjemput di stasiun itu...
sisa asap sigaret
pembersih peron yang renta
lalu lalang orang
pertanyaan yang perih
kecewa yang berkarat
sakit pecah di dada
sia-sia yang meronta
ah, dimana kamu?
kangen tertawa
sebuah kota yang jauh
rindu main hujan
wajahmu memudar
hanya ingatan kabut
kamu benar tentang ingin
maaf telah menyakitimu
siapa aku ?
just nothingness
hey, ini hidup
sebuah diam menohok
waktu yang pudar
jejak yang tak jelas
lelah berjalan
ingin tidur dalam dunia cahaya
besok?
sebuah hari lain
terima kasih untuk hari kemarin
ps: selalu rindu lelaki yang selalu
menjemput di stasiun itu...
Catatan rel di sebuah jalan
kota ini menyimpan kenangan yang tak rapi
disana sini masih terkoyak catatan-catatan tentangmu
gedung-gedung bisu, wajah-wajah diam, dan carut marut
lampu berdentam di antara sepi sebuah kesendirian dalam
keramaian hinga bingar metropolitan yang lengkap dengan namamu
sepertinya jentera waktu tak cukup untuk menyudahi begitu saja
pintalan-pintalan usia yang makin menggurat dipori-pori kita
mungkin satu hari nanti akan kuletakkan begitu saja
hati yang menggetas untuk diterbangkan oleh angin disisa waktu kita
dengan ingatan tentang sebuah mata.
disana sini masih terkoyak catatan-catatan tentangmu
gedung-gedung bisu, wajah-wajah diam, dan carut marut
lampu berdentam di antara sepi sebuah kesendirian dalam
keramaian hinga bingar metropolitan yang lengkap dengan namamu
sepertinya jentera waktu tak cukup untuk menyudahi begitu saja
pintalan-pintalan usia yang makin menggurat dipori-pori kita
mungkin satu hari nanti akan kuletakkan begitu saja
hati yang menggetas untuk diterbangkan oleh angin disisa waktu kita
dengan ingatan tentang sebuah mata.
Wednesday, December 28, 2011
ruang yang meruang

ruang tunggu:
aku tunggu ruhmu disini kata detak pada sebuah bayang
mungkin ini saatnya kita ada di ruang yang sama
ruhmu dan ruhku akan duduk berdampingan
untuk melihat burung kolibri pulang pada
sebuah senja yang berputik jingga
dan mata kita akan kembali bercinta
untuk mengalirkan kembali detak
di tempat dimana darah kembali berpora
ruang nomor empat:
berjuta pertanyaan tentang cinta berhamburan di antara
sunyi yang mendera tiba-tiba dan berdentam sejuta
harap untuk sebuah permintaan
" Maukah kamu berbagi waktu denganku untuk membelah
semua belatung kegelisahaan dan resah yang memekakkan
dada?"
" Mungkin alamat tujuan kita berbeda arah, dan kita mungkin hanya berpapasan
di persimpangan dan sejenak duduk untuk saling menyapa rongga-rongga
yang tertelan senyap pada sebuah malami"
"yakinkan aku tentang dongeng-dongeng purba sebuah akhir yang selalu
bernama bahagia selama-lamanya , padahal sebuah sepatu kaca
akan retak setiap saat ketika berjejak pada realita yang meranggas"
"anak kecil di dalam diriku akan selalu butuh udara dan angin untuk
menerbangkan airmata yang berwarna biru"
"baiklah, selamat tinggal. aku membatu bersama ruangku"
ruang nomor sepuluh:
pada sebuah airmata kutambatkan luka yang mengangga pada sebuah
mimpi abu-abu bernama cinta.
pada sebuah senja kutautkan rasa tentang mimpi upik abu yang retak
tanpa pesta istana.
pada sebuah mata kutanyakan tentang makna sebuah labirin yang
berisi detak yang meronta.
ruang tak bernama:
kita sudah mati ketika kita tidak bermimpi
( ah,meskipun impian serapuh gelembung
sabun bukan?)
ruang dengan detak sunyi:
apa yang kita harus takuti pada sebuah sepi
ketika sunyi adalah deru nafas kita sendiri?
ruang bersama Tuhan:
Tuhan? ah itu sebuah nama generik untuk sebuah kekuatan Maha Besar di luar nalar
manusia.
ruangku :
aku pecinta yang memunguti serpihan rasa yang tercecer pada sebuah senja
ruangmu :
kamu sebebas angin dan udara, sebiru angkasa dan sedalam samodera
...
dan pada sebuah ruang bernama sekarang
kutempelkan nama-nama pada dinding-dinding kenangan
yang melekat begitu saja pada kepala
dengan rekahan luka yang begitu lirih bunyinya
...
( High and Dry -- Radiohead)
Tuesday, December 27, 2011
jejak yang lenyap dibalik dinding

Semua diam dalam derit waktu yang berkarat, hanya sekedar suara desah yang datang diam-diam, dan menawarkan secangkir kopi untuk menahan kantuk yang begitu abadi mengikuti bayang yang lindap dibalik tiktok jarum jam. Kedua tanganmu menangkup erat dan tetes hujan itu menyeretmu untuk bermain dihalaman depan dekat pohon jambu, dan terdengar derap sepatu tentara yang berbaris dalam kecipak air menetes dari daun yang pias menahan dingin, sementara awan terus bergerak ditengah kesiur angin membuyarkan impian yang berjalan pelan disisi jalan diantara dedaunan dan bunga rumput. Bayangan itu berkelebat disela bebatuan , lantas dipungutnya sejumput kenangan dan dilontarkan ketengah danau yang menganga keheranan akan tingkah lakunya ( ah.. rinai hujan terkadang melarutkan waktu yang meleleh bagai karet dan anak-anak kecil itu akan bersorak kegirangan karena mereka dapat memperpanjang masa kanak-kanak mereka).
Arloji itu mengisyaratkan kelelahan yang terbayang dikelopak mata, detik berjalan dengan pelan dan keraguan membayang disetiap seret langkahnya. Makin jauh ia bergerak mendekati puncak hari dan segera saja ditemuinya kebosanan yang konstan ditiap pertemuan jarum pendek dan panjang ( menghasilkan suara lonceng yang mengingatkan kepastian yang kaku), tapi toh ia harus bergerak karena waktu memang harus bergerak ( aku membayangkan gulali merah yang empuk dan manis membungkus arloji itu..)
Siapakah yang memanggilmu dari balik daun bambu, menawarkan kesepian dan gemersik angin lalu membawamu dalam percakapan waktu dan batu. Detak nadi dan degup jantung membawa pesan waktu yang membatu diujung lidahmu, kau sisakan kesepian yang terbuang dipinggir jalan untuk dimakan hewan dan segera saja kau tersadar : waktu demikian beku, bahkan ia tak sempat tersenyum untuk sebuah lelucon yang terlontar dari wajah polos seorang anak yang berangkat sekolah dengan harapan yang membuncah dan masa depan yang tak ia kenali.Tiktok jarum jam mengingatkanmu, jalan tengah ditempuh dengan kecepatan konstan, dan jejakmu menyendiri dibalik dinding logam, mencari pemaknaan yang tepat bagi setiap langkah yang meninggalkan jejak ditanah berpasir..
Subscribe to:
Comments (Atom)
